Rabu, 23 Februari 2011

ANTARA LARANGAN EKSPOR DAN KELESTARIAN ROTAN

http://rotanindonesia.org/index.php?option=com_content&view=article&id=120:antara-larangan-ekspor-dan-kelestarian-rotan&catid=25:rotan&Itemid=53



Tulisan - Rotan

Saat ini petani/pengumpul rotan dan masyarakat yang berada di dan di sekitar hutan ternyata tidak mendapatkan manfaat dari pengusahaan rotan. Peran rotan yang dari sejak ratusan tahun merupakan bagian dari salah satu sumber kehidupan masyarakat di dan sekitar hutan, ternyata semakin berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali. Petani Kalimantan Tengah yang tadinya mendapatkan Rp 1250 per kilo, turun menjadi Rp 600 per kilo.

Sementara pengrajin rotan dan pengusaha rotanpun semakin kehilangan perannya dalam pasar furniture dan mebel rotan dunia. Semakin banyak pabrik mebel rotan yang tutup karena pengusahaan rotan sudah tidak menguntungkan lagi. Ekspor rotan semakin kehilangan peran dan porsinya sebagai salah satu penggerak ekonomi bangsa. Pengusaha rotan ditekan oleh buyer sehingga tdk mendapatkan keuntungan sama sekali.

Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) mencatat nilai ekspor produk kerajinan dan mebel rotan pada tahun lalu hanya US$ 140 juta. Realisasi produksi kerajinan dan mebel rotan pada tahun 2009 ini cuma akan mencapai 40% dari realisasi produksi rotan di 2008 yang jumlahnya mencapai 300.000 ton. Tiga tahun terakhir, dari total kapasitas produksi perajin nasional 551.685 ton per tahun, utilisasinya hanya 20%. Banyak produsen tidak mampu mempertahankan usahanya. Dari sekitar 700 unit usaha rotan pada 2006, saat ini hanya tersisa sekitar 100 perusahaan.

Hal lain adalah semakin tingginya kecenderungan peralihan selera pasar dari rotan alami ke rotan imitasi plastik yang tidak ramah lingkungan. Hal ini sangat memprihatinkan karena juga semakin mengurangi pangsa pasar rotan asli yang 85%-nya datang dari Indonesia.

Melihat besarnya potensi Indonesia dibidang sum berdaya rotan yang berbanding terbalik dengan semakin menurun dan berkurangnya manfaat yang diperoleh dari pengusahaan rotan, bisa disimpulkan bahwa selama ini telah terjadi salah urus pengelolaan rotan Indonesia. Pemerintah selama ini tidak memperlihatkan konsistensi dalam mengeluarkan kebijakan nasional rotan.

Beberapa departemen teknis terlihat telah berpikir dan bertindak secara sangat sektoral dan merugikan kepentingan nasional secara menyeluruh. Departemen Perindustrian terlihat sangat mementingkan para industriawan mebel rotan, sehingga kebijakan yg didukung tdk mencerminkan kebijakan berwawasan strategis jangka panjang. Departemen Perdagangan lebih khawatir menjaga hubungan dengan Departemen Perindustrian sehingga ragu-ragu mengambil tindakan berbasis kebijakan strategis. Departemen Kehutanan lebih terlihat sebagai penonton dalam hal pemasaran dan pemanfaatan rotan dan terpaku memikirkan masalah budidaya saja.

Kebijakan on-off on-off dalam hal ekspor rotan mentah terlihat sangat sektoral dan berdasar kepentingan sesaat tanpa pemikiran komprehensif, yang pada akhirnya justru telah menghancurkan jaringan pemasaran rotan dan menyebabkan tumbuhnya produk substitusi yg bisa mengalahkan produk rotan Indonesia.

Di tahun 1979 Mendagkop melarang ekspor rotan bulat asalan. Tahun 1986 Menperdag juga menerbitkan SK larangan ekspor rotan bulat dan setengah jadi. Di tahun 1998 Menperindag mengijinkan ekspor rotan selama 6 tahun. Kemudian di tahun 2004 Menperindag kembali melarang ekspor rotan bulat dari hutan alam. Di tahun 2005 Menperdag mengijinkan (sebagian) ekspor rotan dalam jumlah dan dengan ketentuan tertentu sebagai bentuk akomodasi dan kompromi dua pihak yg setuju dan yg menolak ekspor rotan .

Bila dilihat menggunakan Analisis 5 (lima) kekuatan lingkungan industri dari Michael E Porter, apa yang dilakukan pemerintah dengan menyetop dan kemudian mengijinkan ekspor rotan dalam upaya untuk memperkuat Persaingan Industri mebel rotan dalam negeri adalah menekan Ancaman Pendatang Baru (yaitu industri mebel rotan di luar negeri) dengan memaksa melalui keputusan menteri agar Pemasok (yaitu petani rotan Indonesia) tidak melakukan ekspor dan memberikan bahan baku kepada pesaing di luar negeri. Padahal pesaing mebel rotan luar negeri tidak mudah ditaklukan begitu saja, karena permintaan Konsumen akan mebel rotan tetap tinggi namun karena pasokan rotan alam dari Indonesia tidak ada maka mereka beralih ke Produk Substitusi.

Jadi akibat dari kebijakan seperti ini yang dirugikan bukan industri mebel rotan pesaing (di luar negeri) yg dikenal sebagai kreatif dan innovatif tetapi justru pemasok bahan baku (yaitu petani rotan) yang juga berasal dari Indonesia.

Seharusnya pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan menyangkut rotan, misalnya melarang atau mengijinkan ekspor rotan, juga memperhatikan dan tidak melupakan adanya komponen produk substitusi. Karena sekali konsumen beralih ke produk substitusi akan sangat sulit untuk mengembalikan selera konsumen ke bahan baku rotan (asli), apalagi harga produk substitusi (rotan imitasi) walaupun pada awalnya mahal dan tidak ekonomis dengan kualitas belum baik tetapi lama-kelamaan harganya cenderung menurun dengan kualitas semakin baik.

Diskursus soal boleh atau tidak boleh melakukan ekspor bisa dihitung berdasar analisa manfaat sehingga pertimbangannya objektif dan tidak emosional:

a. Dalam kondisi sekarang (boleh ekspor rotan setengah jadi dengan kuota) diperkirakan total nilai ekspor mencapai USD 240 juta, dimana produk rotan sekitar USD 140 juta dan produk rotan setengah jadi USD 100 juta. Dengan jumlah orang yang terlibat sekitar 600 ribu orang.

b. Dalam kondisi ekspor rotan tidak dilarang (seperti dalam periode 1998-2004) menggunakan nilai saat ini, perkiraan nilai ekspor produk rotan sekitar USD 560 juta dan penjualan dari rotan asalan dan setengah jadi mencapai USD 970 juta, sehingga total pertahun sebesar USD 1,53 milyar. Dengan jumlah orang yang terlibat 2,3 juta.

c. Namun akibat pelarangan ekspor rotan yang menyebabkan produk substitusi rotan imitasi plastik tumbuh, maka peran dan porsi pasar rotan dan produk rotan asli dari Indonesia akan semakin berkurang. Kondisi menurunnya ekpor rotan dan produk rotan saat ini, bukan semata akibat lesunya ekonomi tapi sebagian besar juga akibat adanya produk substitusi yang dibidani oleh kebijakan pemerintah yang tdk jelas dan konsisten.

Buat apa kita menguasai 80-85% supply bahan baku mentah rotan dunia kalau ternyata pasar rotan dan produk rotan dunia justru dikuasai oleh produk substitusi yaitu rotan imitasi. Bila rotan (asli) sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi karena petani sudah tdk tertarik lagi menanam dan merawat rotan akibat mereka tdk mendapatkan manfaat, maka kelestarian budidaya dan pengusahaan rotan akan menjadi sangat terancam dan tanaman rotan bisa segera punah. Kelestarian rotan hanya akan terpelihara bila rotan dipergunakan dan memberikan manfaat secara intensif.

Sesungguhnya kebijakan larangan ekspor rotan mentah bisa diterima, kalau saja semua rotan mentah yg dihasilkan oleh petani rotan dibeli SEMUANYA oleh industri mebel rotan. Yang terjadi justru industri mebel hanya mampu menyerap sebagian rotan mentah tetapi sisanya dilarang dijual ke pihak lain. Menurut beberapa pengusaha rotan kebijakan ini lebih kejam dari kebijakan VOC. VOC memang melarang inlander berdagang dengan Portugis atau Inggris, tetapi mereka membeli semua produk yg dihasilkan. Sedangkan ini, pemerintah republik, melarang mengekspor tetapi membiarkan sisanya tidak dibeli dan terbuang percuma, sehingga harga rotan mentah jatuh terjun bebas.

Dilihat dari potensinya, Indonesia mempunyai kemampuan untuk menghasilkan rotan mentah 1 juta ton sementara kemampuan daya serap maksimal industri mebel rotan (dan produk rotan lainnya) hanya sekitar 250 ribu ton. Ini berarti saat pelarangan ekspor rotan mentah, terdapat over supply 750.000 ton yang membuat petani rotan menjerit karena harga mendadak turun atau bahkan rotan tidak laku sama sekali. Pertanyaannya mau dikemanakan sisa produksi rotan yg ada? Memang, karena demand rotan (dengan harga jual yang tinggi) tetap ada di luar negeri, maka beberapa pengusaha nakal melakukan kegiatan illegal berupa penyelundupan rotan mentah ke Singapura, Malaysia, Cina atau Hongkong. Tetapi jumlah itu sangat sedikit sehingga yang terjadi kemudian, seperti diuraikan di atas, sentra mebel rotan luar negeri yang kekurangan bahan baku kemudian beralih menggunakan rotan imitasi.

Akibat selanjutnya dari pelarangan ekspor dimana harga rotan mentah menjadi sangat rendah maka para petani rotan menjadi tdk bergairah sama sekali dalam memelihara dan mengurus budidaya rotan. Pemungutan rotan yg sejak ratusan tahun menjadi penunjang kehidupan harian mereka kini hilang. Tak heran bila kemudian produksi rotan mentah nasional turun drastis. Yayasan Rotan Indonesia memperkirakan tahun 2008 ini Indonesia hanya menghasilkan sekitar 100 -150.000 ton. Sementara sentra industri mebel rotan Cirebon (yang merupakan 80% dari kapasitas nasional) diperkirakan hanya mampu menyerap kurang dari 60.000 ton rotan mentah.

Dalam kondisi perekonomian global menurun seperti sekarang ini, dimana pembangunan perumahan dan apartemen dunia tumbuh minus, maka permintaan akan furniturpun menurun drastis. Ditambah lagi rotan imitasi yang dihasilkan di Cina dan juga Indonesia (?) jelas mulai menggerogoti pangsa pasar mebel rotan. Hal ini yang membuat industri mebel rotan Indonesia terpukul. Lebih parahnya lagi, para buyer besar dari luar negeri memanfaatkan kesempatan ini. Mereka menawarkan order tapi dengan harga dibawah biaya produksi. Bila pengusaha mebel rotan besar tdk mau menerima order karena rugi akibat menanggung biaya over head yg tinggi, maka tawaran kemudian dialihkan ke perusahaan kecil yang mempunyai overhead rendah. Yang jelas karena pengusaha mebel rotan merugi, maka mereka akan berutang kepada supplier rotan mentah yang pada ujungnya akan menularkan beban ini kepada petani rotan.

Upaya Menteri Perdagangan menjembatani pro dan kontra ekspor rotan dengan mengeluarkan Permendag Nomor 36/M-DAG/PER/8/2009 tanggal 11 Agustus 2009, dalam upaya (i) untuk menjamin pasokan bahan baku bagi industri dalam negeri dengan tetap (ii) menjamin petani/pengumpul mendapatkan manfaat serta sekaligus (iii) menjaga kelestarian rotan; patut didukung. Namun yang diatur dalam Permendag ini bukan berapa yang harus dipasok untuk dalam negeri tetapi justru berapa yang boleh diekspor.

Yang boleh diekspor dibatasi kepada jenis rotan Washed and Sulphurized (W/S) dan jenis rotan Taman/Sega (Calamus caesius) dan kit (Calamus trachycoleus) dengan diameter 4-16 mm sejumlah 25 ribu ton dan rotan Setengah Jadi dari jenis rotan Taman/Sega dan Irit sejumlah 16 ribu ton dan rotan Setengah Jadi bukan dari jenis rotan Taman/Sega dan Irit dalam bentuk poles halus, kulit dan hati rotan sejumlah 36 ribu ton.

Padahal jenis rotan komersial di Indonesia mencapai lebih dari 40 jenis dan tdk semua rotan komersial atas pertimbangan jenis dan ukuran diameter bisa diproses W/S, poles halus dan dalam bentuk hati rotan. Rotan selain menjadi bagian dari mebel juga bermanfaat untuk banyak keperluan lain, diantaranya misalnya sebagai rangka penyangga terpal di truk atau kapal maupun sebagai rumpon ikan, yg tdk ada hubungannya dengan mebel rotan dan tdk dipergunakan secara umum di dalam negeri, akibat aturan itu menjadi ikut kena larangan ekspor. Itu berarti semakin sedikit dari potensi rotan yang bisa diperjual belikan dan menjadi sumber penghidupan petani/pemungut rotan.

Walaupun jumlah rotan yg boleh diekspor sudah ditetapkan, namun ijin ekspor hanya diberikan kepada perusahaan yang berdomisili di daerah penghasil rotan saja. Ini jelas bermasalah, karena tidak selalu perusahaan eksportir berada di daerah penghasil rotan. Seperti misalnya eksportir rotan dari Surabaya akan terkena larangan ekspor karena Jawa Timur bukan dianggap sebagai penghasil rotan, walaupun hutan Perhutani juga menghasilkan rotan. Padahal rotan dari Bau-bau umumnya lebih mudah dibawa ke Surabaya dibanding ke Makasar. Hal sama terjadi bagi rotan dari Kalbar atau Kaltim yang lebih mudah dibawa Surabaya dibanding ke Sampit - Kalteng. Ini berarti banyak petani/pengumpul rotan di banyak daerah penghasil rotan akan sulit menjual rotannya hanya gara-gara di daerahnya tidak terdapat eksportir rotan.

Karena didalam pertimbangan Permendag ini disebutkan juga untuk menjamin petani/pengumpul mendapatkan manfaat dari rotan, sementara yg diatur adalah jumlah yg boleh diekspor, maka logikanya Permendag harus juga mewajibkan industri mebel membeli berapapun produk rotan mentah yang dihasilkan Indonesia setelah dikurangi jumlah yang diekspor. Tanpa itu Permendag hanya membela kepentingan industriawan dengan mengabaikan nasib petani/pengumpul rotan. Yang terjadi selanjutnya kelestarian tanaman rotan akan semakin menjauh dari kenyataan.

Atas dasar hal-hal tersebut di atas:

a. Kita perlu menempatkan posisi petani/pengumpul sama pentingnya dengan industriawan/pengusaha mebel rotan. Petani merupakan garda terdepan dalam budidaya tanaman rotan yang akan menjamin kelestarian pengusahaan rotan. Bila petani/pengumpul dan masyarakat lainnya di dan sekitar hutan mempunyai kepentingan dan mendapat manfaat dari rotan, maka mereka secara langsung dan tdk langsung akan memelihara kelestarian hutan dimana rotan tumbuh.

b. Pemerintah selaku pengelola negara agar mempunyai strategi pengusahaan rotan yang komprehensif, konsisten dan menyeluruh serta mendahulukan kepentingan nasional diatas kepentingan sektoral. Adalah tugas pemerintah untuk menjamin bahwa rotan Indonesia yang merupakan 85% dari rotan dunia tetap lestari dari sisi budidaya dan pengusahaan rotan dengan memberikan manfaat ekonomi, ekologi dan sosial yang sebesar-besarnya bagi bangsa dan negara, termasuk menjamin bahwa rotan tidak hanya dipergunakan di Indonesia tetapi juga dimanfaatkan dan digunakan di bagian dunia manapun.

c. Untuk menjaga kepentingan bersama, maka pemerintah harus mengatur agar semua industri mebel dan kerajinan rotan mendapatkan pasokan secukupnya, baru kemudian sisa produksi rotan mentah dan yang tdk dipakai di dalam negeri diekspor. Memang industri mebel nasional akan mendapatkan saingan, tetapi itu bagus untuk memelihara kualitas dan efisiensi, karena seharusnya industri lokal akan lebih unggul karena mendapatkan pasokan yg lebih murah akibat biaya transportasi dari sentra produksi yg lebih murah. Dengan demikian tdk ada lagi alasan petani/pengumpul mengeluhkan rotan tdk ada pembeli, sedangkan industri juga mendapatkan pasokan yg cukup.

d. Sebagai negara penghasil utama rotan dunia, agar pemerintah memasukkan usaha atau pabrik penghasil rotan imitasi dalam daftar negatif list dan menolak keberadaannya. Rotan imitasi plastik selain tidak bersahabat dengan lingkungan juga menggerogoti pasar rotan asli yang merupakan sumber penghidupan bagi 2 juta penduduk Indonesia.

e. Kepada semua kantor-kantor Pemerintah, Pemda, BUMN, Perusahaan Swasta, Organisasi Masyarakat, LSM, Rumah Tangga dan lainnya di seluruh Indonesia dihimbau untuk menggalakkan penggunaan rotan bagi mebel/furniture maupun perlengkapan sehari-hari lainnya sebagai bagian dari cinta Indonesia dan cinta lingkungan. Juga dihimbau untuk tidak menggunakan rotan imitasi plastik yang memang tidak ramah lingkungan dan menggerogoti porsi dari peran rotan asli Indonesia. Mohon dukungannya untuk Kampanye Cinta Rotan: Cinta Indonesia, Cinta Lingkungan; Katakan TIDAK kepada Rotan Imitasi!





Ir. Lisman Sumardjani, MBA
Ketua Yayasan Rotan Indonesia

lisman@rotanindonesia.org