Rabu, 23 Februari 2011

ANTARA LARANGAN EKSPOR DAN KELESTARIAN ROTAN

http://rotanindonesia.org/index.php?option=com_content&view=article&id=120:antara-larangan-ekspor-dan-kelestarian-rotan&catid=25:rotan&Itemid=53



Tulisan - Rotan

Saat ini petani/pengumpul rotan dan masyarakat yang berada di dan di sekitar hutan ternyata tidak mendapatkan manfaat dari pengusahaan rotan. Peran rotan yang dari sejak ratusan tahun merupakan bagian dari salah satu sumber kehidupan masyarakat di dan sekitar hutan, ternyata semakin berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali. Petani Kalimantan Tengah yang tadinya mendapatkan Rp 1250 per kilo, turun menjadi Rp 600 per kilo.

Sementara pengrajin rotan dan pengusaha rotanpun semakin kehilangan perannya dalam pasar furniture dan mebel rotan dunia. Semakin banyak pabrik mebel rotan yang tutup karena pengusahaan rotan sudah tidak menguntungkan lagi. Ekspor rotan semakin kehilangan peran dan porsinya sebagai salah satu penggerak ekonomi bangsa. Pengusaha rotan ditekan oleh buyer sehingga tdk mendapatkan keuntungan sama sekali.

Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) mencatat nilai ekspor produk kerajinan dan mebel rotan pada tahun lalu hanya US$ 140 juta. Realisasi produksi kerajinan dan mebel rotan pada tahun 2009 ini cuma akan mencapai 40% dari realisasi produksi rotan di 2008 yang jumlahnya mencapai 300.000 ton. Tiga tahun terakhir, dari total kapasitas produksi perajin nasional 551.685 ton per tahun, utilisasinya hanya 20%. Banyak produsen tidak mampu mempertahankan usahanya. Dari sekitar 700 unit usaha rotan pada 2006, saat ini hanya tersisa sekitar 100 perusahaan.

Hal lain adalah semakin tingginya kecenderungan peralihan selera pasar dari rotan alami ke rotan imitasi plastik yang tidak ramah lingkungan. Hal ini sangat memprihatinkan karena juga semakin mengurangi pangsa pasar rotan asli yang 85%-nya datang dari Indonesia.

Melihat besarnya potensi Indonesia dibidang sum berdaya rotan yang berbanding terbalik dengan semakin menurun dan berkurangnya manfaat yang diperoleh dari pengusahaan rotan, bisa disimpulkan bahwa selama ini telah terjadi salah urus pengelolaan rotan Indonesia. Pemerintah selama ini tidak memperlihatkan konsistensi dalam mengeluarkan kebijakan nasional rotan.

Beberapa departemen teknis terlihat telah berpikir dan bertindak secara sangat sektoral dan merugikan kepentingan nasional secara menyeluruh. Departemen Perindustrian terlihat sangat mementingkan para industriawan mebel rotan, sehingga kebijakan yg didukung tdk mencerminkan kebijakan berwawasan strategis jangka panjang. Departemen Perdagangan lebih khawatir menjaga hubungan dengan Departemen Perindustrian sehingga ragu-ragu mengambil tindakan berbasis kebijakan strategis. Departemen Kehutanan lebih terlihat sebagai penonton dalam hal pemasaran dan pemanfaatan rotan dan terpaku memikirkan masalah budidaya saja.

Kebijakan on-off on-off dalam hal ekspor rotan mentah terlihat sangat sektoral dan berdasar kepentingan sesaat tanpa pemikiran komprehensif, yang pada akhirnya justru telah menghancurkan jaringan pemasaran rotan dan menyebabkan tumbuhnya produk substitusi yg bisa mengalahkan produk rotan Indonesia.

Di tahun 1979 Mendagkop melarang ekspor rotan bulat asalan. Tahun 1986 Menperdag juga menerbitkan SK larangan ekspor rotan bulat dan setengah jadi. Di tahun 1998 Menperindag mengijinkan ekspor rotan selama 6 tahun. Kemudian di tahun 2004 Menperindag kembali melarang ekspor rotan bulat dari hutan alam. Di tahun 2005 Menperdag mengijinkan (sebagian) ekspor rotan dalam jumlah dan dengan ketentuan tertentu sebagai bentuk akomodasi dan kompromi dua pihak yg setuju dan yg menolak ekspor rotan .

Bila dilihat menggunakan Analisis 5 (lima) kekuatan lingkungan industri dari Michael E Porter, apa yang dilakukan pemerintah dengan menyetop dan kemudian mengijinkan ekspor rotan dalam upaya untuk memperkuat Persaingan Industri mebel rotan dalam negeri adalah menekan Ancaman Pendatang Baru (yaitu industri mebel rotan di luar negeri) dengan memaksa melalui keputusan menteri agar Pemasok (yaitu petani rotan Indonesia) tidak melakukan ekspor dan memberikan bahan baku kepada pesaing di luar negeri. Padahal pesaing mebel rotan luar negeri tidak mudah ditaklukan begitu saja, karena permintaan Konsumen akan mebel rotan tetap tinggi namun karena pasokan rotan alam dari Indonesia tidak ada maka mereka beralih ke Produk Substitusi.

Jadi akibat dari kebijakan seperti ini yang dirugikan bukan industri mebel rotan pesaing (di luar negeri) yg dikenal sebagai kreatif dan innovatif tetapi justru pemasok bahan baku (yaitu petani rotan) yang juga berasal dari Indonesia.

Seharusnya pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan menyangkut rotan, misalnya melarang atau mengijinkan ekspor rotan, juga memperhatikan dan tidak melupakan adanya komponen produk substitusi. Karena sekali konsumen beralih ke produk substitusi akan sangat sulit untuk mengembalikan selera konsumen ke bahan baku rotan (asli), apalagi harga produk substitusi (rotan imitasi) walaupun pada awalnya mahal dan tidak ekonomis dengan kualitas belum baik tetapi lama-kelamaan harganya cenderung menurun dengan kualitas semakin baik.

Diskursus soal boleh atau tidak boleh melakukan ekspor bisa dihitung berdasar analisa manfaat sehingga pertimbangannya objektif dan tidak emosional:

a. Dalam kondisi sekarang (boleh ekspor rotan setengah jadi dengan kuota) diperkirakan total nilai ekspor mencapai USD 240 juta, dimana produk rotan sekitar USD 140 juta dan produk rotan setengah jadi USD 100 juta. Dengan jumlah orang yang terlibat sekitar 600 ribu orang.

b. Dalam kondisi ekspor rotan tidak dilarang (seperti dalam periode 1998-2004) menggunakan nilai saat ini, perkiraan nilai ekspor produk rotan sekitar USD 560 juta dan penjualan dari rotan asalan dan setengah jadi mencapai USD 970 juta, sehingga total pertahun sebesar USD 1,53 milyar. Dengan jumlah orang yang terlibat 2,3 juta.

c. Namun akibat pelarangan ekspor rotan yang menyebabkan produk substitusi rotan imitasi plastik tumbuh, maka peran dan porsi pasar rotan dan produk rotan asli dari Indonesia akan semakin berkurang. Kondisi menurunnya ekpor rotan dan produk rotan saat ini, bukan semata akibat lesunya ekonomi tapi sebagian besar juga akibat adanya produk substitusi yang dibidani oleh kebijakan pemerintah yang tdk jelas dan konsisten.

Buat apa kita menguasai 80-85% supply bahan baku mentah rotan dunia kalau ternyata pasar rotan dan produk rotan dunia justru dikuasai oleh produk substitusi yaitu rotan imitasi. Bila rotan (asli) sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi karena petani sudah tdk tertarik lagi menanam dan merawat rotan akibat mereka tdk mendapatkan manfaat, maka kelestarian budidaya dan pengusahaan rotan akan menjadi sangat terancam dan tanaman rotan bisa segera punah. Kelestarian rotan hanya akan terpelihara bila rotan dipergunakan dan memberikan manfaat secara intensif.

Sesungguhnya kebijakan larangan ekspor rotan mentah bisa diterima, kalau saja semua rotan mentah yg dihasilkan oleh petani rotan dibeli SEMUANYA oleh industri mebel rotan. Yang terjadi justru industri mebel hanya mampu menyerap sebagian rotan mentah tetapi sisanya dilarang dijual ke pihak lain. Menurut beberapa pengusaha rotan kebijakan ini lebih kejam dari kebijakan VOC. VOC memang melarang inlander berdagang dengan Portugis atau Inggris, tetapi mereka membeli semua produk yg dihasilkan. Sedangkan ini, pemerintah republik, melarang mengekspor tetapi membiarkan sisanya tidak dibeli dan terbuang percuma, sehingga harga rotan mentah jatuh terjun bebas.

Dilihat dari potensinya, Indonesia mempunyai kemampuan untuk menghasilkan rotan mentah 1 juta ton sementara kemampuan daya serap maksimal industri mebel rotan (dan produk rotan lainnya) hanya sekitar 250 ribu ton. Ini berarti saat pelarangan ekspor rotan mentah, terdapat over supply 750.000 ton yang membuat petani rotan menjerit karena harga mendadak turun atau bahkan rotan tidak laku sama sekali. Pertanyaannya mau dikemanakan sisa produksi rotan yg ada? Memang, karena demand rotan (dengan harga jual yang tinggi) tetap ada di luar negeri, maka beberapa pengusaha nakal melakukan kegiatan illegal berupa penyelundupan rotan mentah ke Singapura, Malaysia, Cina atau Hongkong. Tetapi jumlah itu sangat sedikit sehingga yang terjadi kemudian, seperti diuraikan di atas, sentra mebel rotan luar negeri yang kekurangan bahan baku kemudian beralih menggunakan rotan imitasi.

Akibat selanjutnya dari pelarangan ekspor dimana harga rotan mentah menjadi sangat rendah maka para petani rotan menjadi tdk bergairah sama sekali dalam memelihara dan mengurus budidaya rotan. Pemungutan rotan yg sejak ratusan tahun menjadi penunjang kehidupan harian mereka kini hilang. Tak heran bila kemudian produksi rotan mentah nasional turun drastis. Yayasan Rotan Indonesia memperkirakan tahun 2008 ini Indonesia hanya menghasilkan sekitar 100 -150.000 ton. Sementara sentra industri mebel rotan Cirebon (yang merupakan 80% dari kapasitas nasional) diperkirakan hanya mampu menyerap kurang dari 60.000 ton rotan mentah.

Dalam kondisi perekonomian global menurun seperti sekarang ini, dimana pembangunan perumahan dan apartemen dunia tumbuh minus, maka permintaan akan furniturpun menurun drastis. Ditambah lagi rotan imitasi yang dihasilkan di Cina dan juga Indonesia (?) jelas mulai menggerogoti pangsa pasar mebel rotan. Hal ini yang membuat industri mebel rotan Indonesia terpukul. Lebih parahnya lagi, para buyer besar dari luar negeri memanfaatkan kesempatan ini. Mereka menawarkan order tapi dengan harga dibawah biaya produksi. Bila pengusaha mebel rotan besar tdk mau menerima order karena rugi akibat menanggung biaya over head yg tinggi, maka tawaran kemudian dialihkan ke perusahaan kecil yang mempunyai overhead rendah. Yang jelas karena pengusaha mebel rotan merugi, maka mereka akan berutang kepada supplier rotan mentah yang pada ujungnya akan menularkan beban ini kepada petani rotan.

Upaya Menteri Perdagangan menjembatani pro dan kontra ekspor rotan dengan mengeluarkan Permendag Nomor 36/M-DAG/PER/8/2009 tanggal 11 Agustus 2009, dalam upaya (i) untuk menjamin pasokan bahan baku bagi industri dalam negeri dengan tetap (ii) menjamin petani/pengumpul mendapatkan manfaat serta sekaligus (iii) menjaga kelestarian rotan; patut didukung. Namun yang diatur dalam Permendag ini bukan berapa yang harus dipasok untuk dalam negeri tetapi justru berapa yang boleh diekspor.

Yang boleh diekspor dibatasi kepada jenis rotan Washed and Sulphurized (W/S) dan jenis rotan Taman/Sega (Calamus caesius) dan kit (Calamus trachycoleus) dengan diameter 4-16 mm sejumlah 25 ribu ton dan rotan Setengah Jadi dari jenis rotan Taman/Sega dan Irit sejumlah 16 ribu ton dan rotan Setengah Jadi bukan dari jenis rotan Taman/Sega dan Irit dalam bentuk poles halus, kulit dan hati rotan sejumlah 36 ribu ton.

Padahal jenis rotan komersial di Indonesia mencapai lebih dari 40 jenis dan tdk semua rotan komersial atas pertimbangan jenis dan ukuran diameter bisa diproses W/S, poles halus dan dalam bentuk hati rotan. Rotan selain menjadi bagian dari mebel juga bermanfaat untuk banyak keperluan lain, diantaranya misalnya sebagai rangka penyangga terpal di truk atau kapal maupun sebagai rumpon ikan, yg tdk ada hubungannya dengan mebel rotan dan tdk dipergunakan secara umum di dalam negeri, akibat aturan itu menjadi ikut kena larangan ekspor. Itu berarti semakin sedikit dari potensi rotan yang bisa diperjual belikan dan menjadi sumber penghidupan petani/pemungut rotan.

Walaupun jumlah rotan yg boleh diekspor sudah ditetapkan, namun ijin ekspor hanya diberikan kepada perusahaan yang berdomisili di daerah penghasil rotan saja. Ini jelas bermasalah, karena tidak selalu perusahaan eksportir berada di daerah penghasil rotan. Seperti misalnya eksportir rotan dari Surabaya akan terkena larangan ekspor karena Jawa Timur bukan dianggap sebagai penghasil rotan, walaupun hutan Perhutani juga menghasilkan rotan. Padahal rotan dari Bau-bau umumnya lebih mudah dibawa ke Surabaya dibanding ke Makasar. Hal sama terjadi bagi rotan dari Kalbar atau Kaltim yang lebih mudah dibawa Surabaya dibanding ke Sampit - Kalteng. Ini berarti banyak petani/pengumpul rotan di banyak daerah penghasil rotan akan sulit menjual rotannya hanya gara-gara di daerahnya tidak terdapat eksportir rotan.

Karena didalam pertimbangan Permendag ini disebutkan juga untuk menjamin petani/pengumpul mendapatkan manfaat dari rotan, sementara yg diatur adalah jumlah yg boleh diekspor, maka logikanya Permendag harus juga mewajibkan industri mebel membeli berapapun produk rotan mentah yang dihasilkan Indonesia setelah dikurangi jumlah yang diekspor. Tanpa itu Permendag hanya membela kepentingan industriawan dengan mengabaikan nasib petani/pengumpul rotan. Yang terjadi selanjutnya kelestarian tanaman rotan akan semakin menjauh dari kenyataan.

Atas dasar hal-hal tersebut di atas:

a. Kita perlu menempatkan posisi petani/pengumpul sama pentingnya dengan industriawan/pengusaha mebel rotan. Petani merupakan garda terdepan dalam budidaya tanaman rotan yang akan menjamin kelestarian pengusahaan rotan. Bila petani/pengumpul dan masyarakat lainnya di dan sekitar hutan mempunyai kepentingan dan mendapat manfaat dari rotan, maka mereka secara langsung dan tdk langsung akan memelihara kelestarian hutan dimana rotan tumbuh.

b. Pemerintah selaku pengelola negara agar mempunyai strategi pengusahaan rotan yang komprehensif, konsisten dan menyeluruh serta mendahulukan kepentingan nasional diatas kepentingan sektoral. Adalah tugas pemerintah untuk menjamin bahwa rotan Indonesia yang merupakan 85% dari rotan dunia tetap lestari dari sisi budidaya dan pengusahaan rotan dengan memberikan manfaat ekonomi, ekologi dan sosial yang sebesar-besarnya bagi bangsa dan negara, termasuk menjamin bahwa rotan tidak hanya dipergunakan di Indonesia tetapi juga dimanfaatkan dan digunakan di bagian dunia manapun.

c. Untuk menjaga kepentingan bersama, maka pemerintah harus mengatur agar semua industri mebel dan kerajinan rotan mendapatkan pasokan secukupnya, baru kemudian sisa produksi rotan mentah dan yang tdk dipakai di dalam negeri diekspor. Memang industri mebel nasional akan mendapatkan saingan, tetapi itu bagus untuk memelihara kualitas dan efisiensi, karena seharusnya industri lokal akan lebih unggul karena mendapatkan pasokan yg lebih murah akibat biaya transportasi dari sentra produksi yg lebih murah. Dengan demikian tdk ada lagi alasan petani/pengumpul mengeluhkan rotan tdk ada pembeli, sedangkan industri juga mendapatkan pasokan yg cukup.

d. Sebagai negara penghasil utama rotan dunia, agar pemerintah memasukkan usaha atau pabrik penghasil rotan imitasi dalam daftar negatif list dan menolak keberadaannya. Rotan imitasi plastik selain tidak bersahabat dengan lingkungan juga menggerogoti pasar rotan asli yang merupakan sumber penghidupan bagi 2 juta penduduk Indonesia.

e. Kepada semua kantor-kantor Pemerintah, Pemda, BUMN, Perusahaan Swasta, Organisasi Masyarakat, LSM, Rumah Tangga dan lainnya di seluruh Indonesia dihimbau untuk menggalakkan penggunaan rotan bagi mebel/furniture maupun perlengkapan sehari-hari lainnya sebagai bagian dari cinta Indonesia dan cinta lingkungan. Juga dihimbau untuk tidak menggunakan rotan imitasi plastik yang memang tidak ramah lingkungan dan menggerogoti porsi dari peran rotan asli Indonesia. Mohon dukungannya untuk Kampanye Cinta Rotan: Cinta Indonesia, Cinta Lingkungan; Katakan TIDAK kepada Rotan Imitasi!





Ir. Lisman Sumardjani, MBA
Ketua Yayasan Rotan Indonesia

lisman@rotanindonesia.org

MEMBEDAH KONDISI INDUSTRI ROTAN INDONESIA

http://rotanindonesia.org/index.php?option=com_content&view=article&id=244:membedah-kondisi-industri-rotan-indonesia&catid=25:rotan&Itemid=53


Tulisan - Rotan

Oleh

Lisman Sumardjani

Ketua Yayasan Rotan Indonesia



Rotan sudah sejak lama dikenal sebagai komoditi hasil hutan non-kayu yang penting dan sangat potensial di Indonesia. Diperkirakan terdapat 4 – 5 juta orang terlibat di industri dasar rotan. Dari total 600 species rotan di dunia, 516-nya ditemukan di Asia Tenggara yang masuk ke dalam 9 genes (ITTO PD 108/01 Rev. 3(I), 2007), tetapi dari 350 species yang diketahui ada di Indonesia baru 53 species yang diketahui diperjual belikan di pasar lokal maupun internasional. Potensi Indonesia menghasilkan rotan menurut data dari Dephut, jumlah AAC rotan adalah 696.900 ton.



Namun saat ini dunia usaha rotan Indonesia menghadapi kondisi yang serius:

1. Volume dan nilai ekspor produk rotan menurun terus. Pengusaha mebel dan kerajinan rotan menuduh sebab semuanya itu adalah akibat dari kekurangan bahan baku.
2. Produksi rotan mentah menurun terus, karena petani pemungut rotan kecewa penghasilan dari usaha ini tidak bisa lagi mencukupi penghidupan mereka. Pengusaha rotan menuduh telah terjadi oversupply sehingga harga jatuh dan petani pemungut kapok berusaha rotan lagi.
3. Ini yang belum tidak disadari oleh para pemain rotan: munculnya produk substitusi rotan imitasi plastik yang mulai mengambil porsi rotan alam.

Bila dirunut ke belakang, kondisi yang memprihatinkan ini adalah akibat dari kebijakan pemerintah yang tidak strategis. Kebijakan yang diambil hanyalah menutup dan membuka kran ekspor rotan asalan atau rotan setengah jadi tanpa memasukkan pertimbangan dan analisa yang komprehensif. Seakan-akan dengan mengatur supply bahan baku, seluruh industri rotan bisa dikontrol sesuai yang kita kehendaki. Padahal komponen bahan baku hanyalah salah satu dari 5 (lima) kondisi lingkungan industri menurut Michael Porter (1979).

Konsep "Porter 's Five forces" bisa digunakan untuk analisa industri dan perkembangan strategi perusahaan untuk melihat kemenarikan pasar. Kemenarikan di konteks ini merujuk pada profitability keseluruhan industri. Industri yang tak "menarik" adalah bila kombinasi kekuatan bergerak menurunkan keseluruhan profitability. Sedangkan bila kondisi pasar industri bergerak menuju "kompetisi murni” maka industri dianggap benar-benar tdk menarik.

Pemikiran ini awalnya datang dari Bob Hasan di tahun1979 saat itu dan memang sangat masuk akal. Kita punya banyak bahan baku rotan tapi semuanya diekspor untuk industri mebel di luar negeri. Mengapa tidak kita olah saja di sini, sehingga kita bisa mendapatkan manfaat dari hulu sampai hilir. Added value dari pengolahan rotan mentah menjadi mebel bisa menjadi milik bangsa ini dan tidak diambil oleh orang lain. Atas dasar pemikiran seperti itu, maka ditutuplah ekspor rotan bulat asalan dan setengah jadi.

Ancaman Pendatang Baru:

Dalam bahasa Porter, industri mebel rotan di HK, Vietnam, Taiwan, Cina dianggap sebagai Ancaman Pendatang Baru, karena mereka tumbuh kemudian setelah industri bahan baku rotan kita tumbuh. Atau sesungguhnya yang lebih tepat, karena Bob Hasan ingin kita mendominasi industri mebel rotan dunia, maka sesungguhnya kitalah yang menjadi pendatang baru bagi industri mebel.

Dengan menyetop supply bahan baku, maka industri mebel di luar Indonesia akan kehilangan skala ekonominya. Jumlah yang diproduksi menjadi sedikit atau sangat terbatas karena terbatasnya sumber rotan dari selain Indonesia. Bahkan bila mereka menggunakan bahan baku rotan hasil selundupan dari Indonesia maka biayanya pasti mahal, apalagi harus bersaing dengan produk mebel yang dibuat di Indonesia. Asumsi Bob Hasan, masalah modal, biaya investasi bisa ditanggulangi. Sedangkan differensiasi produk dan distribusi juga tidak dianggap sebagai masalah karena asumsinya setiap produk yang dihasilkan pasti akan diserap pasar.

Pemerintah:

Jelas dalam tindakan menyetop ekspor ini, peran pemerintah menjadi sangat nyata, karena memang tindakan menghentikan ekspor rotan didukung oleh atau bahkan merupakan keinginan dari pemerintah.

Pemasok:

Indonesia sebagai gudangnya tanaman rotan dunia, tentu saja sangat unggul dalam kekuatan Pemasok. Menurut (Anonymous, 2004) luas kawasan hutan yang merupakan habitat ideal dari 350 species rotan mencapai luasan 26,7 juta ha, yang setara dengan potensi produksi tahunan 696.900 ton.

Komponen five forces inilah yang merupakan advantage Indonesia. Rotan tidak akan ditemukan di tempat lain, kecuali sangat sedikit. Maka yang dilakukan pemerintah adalah memainkan kekuatan ini untuk menguasai industri mebel dan kerajinan rotan dunia.

Di tahun 1979 Mendagkop melarang ekspor rotan bulat asalan. Tahun 1986 Menperdag juga menerbitkan SK larangan ekspor rotan bulat dan setengah jadi. Baru di tahun 1998 Menperindag mengijinkan ekspor rotan selama 6 tahun. Kemudian di tahun 2004 Menperindag kembali melarang ekspor rotan bulat dari hutan alam. Di tahun 2005 Menperdag mengijinkan (sebagian) ekspor rotan dalam jumlah dan dengan ketentuan tertentu sebagai bentuk akomodasi dan kompromi dua pihak yang setuju dan yang menolak ekspor rotan.

Akibat kebijakan melarang ekspor rotan bulat asalan dan setengah jadi ini, memang industri mebel tumbuh dengan pesat dari 10 menjadi 300 unit usaha industri mebel di Jawa, tetapi harga rotan turun dari USD 1,29/kg menjadi USD 0,53/kg akibat over supply. Menurut kapasitas industri mebel dan kerajinan rotan Indonesia setahunnya adalah 100.000 ton, sehingga tentu saja terjadi kelebihan over supply sekitar 600.000 ton setahunnya.

Pembeli:

Dalam rangkaian bisnis rotan mentah, pengusaha mebel dan kerajinan merupakan pembeli. Dengan menutup ekspor maka yang diuntungkan adalah industri mebel dalam negeri dengan turunnya harga, sedangkan petani pengumpul dan eksportir rotan menjerit karena produknya tidak bisa dijual. Seharusnya bila ingin berlaku adil, karena baik industriawan mebel maupun pengusaha rotan bulat asalan dan setengah jadi, adalah juga masyarakat Indonesia yang harus dilindungi, maka pemerintah harus mewajibkan industri mebel dan kerajinan rotan untuk membeli semua (kelebihan) produksi rotan yang dilarang diekspor.

Dari sisi pengusaha mebel dan kerajinan, yang dimaksud dengan Pembeli adalah end user sebagai pengguna produk-produk akhir rotan yang berada di seluruh dunia. Pembeli ini tetap ada dan tidak berkurang walaupun terjadi penghentian ekspor bahan baku rotan. Sayangnya konsumen produk rotan dunia ini tidak beralih mengkonsumsi produk rotan yang dihasilkan oleh industri mebel Indonesia seperti yang dikehendaki oleh pemerintah. Maklum bila bicara inovasi dan kreativitas produk mebel maka orang akan ingat produk Itali, Jerman atau Skandinavia. Bila bicara produktivitas dan biaya murah maka orang akan ingat produk HK, Cina atau bahkan Vietnam. Distribusi pasar juga tetap dikuasai oleh mereka. Mereka tetap menjadi pelanggan setia dari produk mebel yang dihasilkan oleh pesaing Indonesia.

Produk Substitusi:

Karena demand pasar dunia akan produk atau barang-barang dari rotan tetap tinggi dan tidak mampu dipenuhi oleh produk Indonesia, sedangkan supply bahan baku rotan dari Indonesia telah dihentikan, maka para pesaing Indonesia, mencari sumber bahan baku yang lainnya. Dan inilah yang menyebabkan lahirnya produk substitusi, yaitu rotan imitasi plastik.

Pada awalnya produk rotan imitasi plastik ini dihasilkan oleh perusahaan Jerman dengan kualitas warna, tekstur, kelenturan yang prima dan dijamin bertahan terhadap iklim dan cuaca dalam lima tahun. Tentu saja harganya mahal. Namun kemudian seiring dengan meningkatnya demand rotan imitasi plastik , hargapun menurun, terutama setelah Cina mampu membuat rotan imitasi walau kualitasnya kurang dan hanya bertahan untuk satu tahun.

Keberadaan dan ancaman produk substitusi ini sering tidak terlalu diperhatikan oleh pemerintah dan industriawan mebel rotan. Padahal dengan keunggulan sifat-sifat rotan imitasi plastik, terutama kemampuannya menahan perubahan iklim dan cuaca, telah menciptakan penggemar tersendiri yang menggerus demand akan mebel rotan asli, apalagi bila si konsumen tidak terlalu memperhatikan sisi lingkungannya.

Keberadaan produk substitusi rotan imitasi ini seharusnya dibendung seperti yang dilakukan oleh OPEC dalam menahan lahirnya produk substitusi BBM. OPEC selalu berupaya agar BBM dunia selalu tersedia dan tidak terlalu mahal, sehingga produk substitusinya tidak ekonomis dan tidak akan menggerogoti porsi BBM yang merupakan produk OPEC. Bagi OPEC tidak ada gunanya mereka menguasai cadangan terbesar minyak dunia, tetapi pasar BBMnya justru habis diambil oleh produk substitusi.

Yang terjadi dengan produk rotan adalah sebaliknya. Supply bahan baku rotan justru distop ditengah tingginya demand dunia akan produk rotan. Jadi kebijakan menutup ekspor rotan mentah dan setengah jadi yang semula dimaksud untuk mengambil sebagian besar pangsa pasar mebel rotan dunia justru melahirkan produk rotan imitasi plastik sebagai produk substitusi yang mengancam keberadaan rotan alam.

Persaingan internal:

Akibat dari kondisi melemahnya perekonomian dunia dan ditekan oleh semakin meluasnya pemakaian rotan imitasi, demand kepada produk rotan Indonesia saat ini sangat menurun. Para buyer dari luar negeri dalam membawa order berupaya menekan harga seminimal mungkin. Perusahaan menengah dan besar tidak mampu melaksanakan order ini karena tingginya beban overhead yang mereka tanggung. Ujung-ujungnya order itu diambil oleh perusahaan kecil karena walaupun mereka tidak punya untung tetapi lumayan cukup untuk membayar biaya karyawan. Bahkan seringkali order itu dikerjakan sendiri oleh perantara dengan membeli bahan baku dan membayar pengrajin sendiri. Jadi permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan mebel rotan bukanlah tiadanya bahan baku tetapi seretnya cashflow akibat tidak adanya pesanan.

Kalau saja dari awal pemerintah melakukan analisa Lima Kekuatan Porter, maka kondisi pengusahaan rotan kita tidak akan terpuruk seperti ini. Kebijakan menutup ekspor rotan seharusnya dipertimbangkan dengan sangat hati-hati agar produk substitusi tidak tumbuh dan menggerogoti rotan asli kita. Saat ini akan sulit bagi kita untuk membendung rotan imitasi plastik, karena sudah terbentuk sistem mekanisme dan jaringan pemasaran rotan imitasi plastik.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengembalikan kejayaan rotan Indonesia, walaupun ini tidak akan mudah dan murah:

1. Agar petani pemungut rotan tetap memelihara dan menghasilkan rotan, maka pasar rotan bulat asalan harus terbuka lebar. Seluruh produksi harus mampu diserap pasar. Karena pasar lokal tidak mampu menyerap semua produksi, maka setelah kebutuhan industri mebel rotan dipenuhi, seluruh sisanya dijual ke pasar dunia. Petani pemungut akan bergairah berusaha rotan, karena rotan memberikan penghidupan yang layak bagi mereka dan keluarganya.
2. Industri mebel lokal dengan dibukanya pasar rotan mentah akan mendapatkan saingan dari industri mebel rotan di Cina, Vietnam dan lainnya. Tetapi dengan harga bahan baku yang lebih murah, apalagi ditambah dengan perbaikan disain dan model produk yang selalu up-to-date dan efisiensi biaya produksi, maka kita bisa membanjiri dunia dengan produk rotan yang disukai konsumen dalam rentang harga yang masuk akal. Akibatnya demand kepada rotan imitasi akan berkurang, apalagi ditambah kampanye lingkungan yang menyatakan bahwa produk rotan asli dari Indonesia merupakan produk yang ramah lingkungan dan merupakan bagian dari gaya hidup modern. Dengan demikian kita memiliki industri mebel yang sehat dan kompetitif.
3. Perlunya suatu kampanye nasional yang menggalakkan pemakaian produk dari rotan. Selain batik, maka rotan merupakan sesuatu yang sangat Indonesia. Untuk itu semua lapisan perlu menggunakan produk rotan dalam kehidupan sehari-harinya. Kantor pemerintah dan swasta, hotel, restoran dan perumahan menggunakan perabotan mebel dari rotan. Ibu-ibu belanja membawa keranjang rotan dibanding menggunakan plastik. Supermarket Giant, Carefour, Hypermart tidak lagi menggunakan keranjang plastik tetapi semuanya menggunakan keranjang rotan. Saat piknik, maka keranjang yang dibawa adalah keranjang rotan. Rotan perlu menjadi bagian dari setiap kegiatan kita. Kita harus bangga menggunakan rotan seperti kita bangga dengan batik.***

Referensi:

ITTO -Ministry of Forestry PO 108/ 01 REV. 3 ( I ). 2007. Rattan in Indonesia. Development of Sustainable Rattan Production and Utilization through Participation of Rattan Smallholders and Industry in Indonesia. Jakarta.

ITTO -Ministry of Forestry PO 108/ 01 REV. 3 ( I ). 2007. Technical Report: Rattan Raw Material Trade. Development of Sustainable Rattan Production and Utilization through Participation of Rattan Smallholders and Industry in Indonesia. Jakarta.

Porter, M.E. (1980) Competitive Strategy, Free Press, New York, 1980.

Pembatasan Ekspor Bikin Petani Enggan Budidaya Rotan

http://rotanindonesia.org/index.php?option=com_content&view=article&id=55:pembatasan-ekspor-bikin-petani-enggan-budidaya-rotan&catid=1:latest-news&Itemid=50

Jakarta - Pembatasan ekspor rotan budidaya dikhawatirkan membuat petani rotan beralih menanam komoditas lainnya. Sehingga bisa berdampak terhadap berkurangnya pasokan rotan di dalam negeri.

Demikian disampaikan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan Diah Maulida, Kamis (14/2/2008).

"Sekarang kecenderungannya kalau ekspor tersendat maka petani akan malas menanam rotan dan beralih ke komoditi lainnya, justru hal ini akan berdampak pada stok yang kurang. Jadi jangan terlalu dipermasalahkan stoknya," katanya.


Selama ini rotan terdiri dari rotan budidaya yang berasal dari Kalimantan dan rotan alam yang berasal dari Sulawesi. Umumnya secara kapasitas rotan budidaya lebih banyak dari pada rotan-rotan alam.

Ia merasa kuatir terhadap keinginan para industri rotan untuk meminta penyetopan ekspor
rotan.

"Biarkanlah petani rotan menikmati hasil rotannya untuk diekspor,"ujarnya.

Padahal selama ini tingkat penyerapan hasil rotan budidaya di dalam negeri sangat sedikit terutama untuk industri mebel rotan.

"Industri rotan dalam negeri lebih sedikit memakai rotan budidaya, paling-paling mereka menggunakannya 10% hingga 15%.," katanya.

Selain itu, adanya keinginan untuk untuk menyetop ekspor rotan hutan alam akan berdampak negatif bagi pencari rotan alam, yang semua hasilnya belum tentu dapat diserap oleh industri.

"Tidak semua rotan alam diambil oleh industri karena harus dipilih, maka sisanya harus diekspor. Lagian para produsen dalam negeri pun tidak menyerapnya," ujarnya.

Mengenai kebijakan rotan sekarang ini Depdag sedang melakukan dua pendekatan yaitu mengenai kuota ekspor rotan dan sistem wajib pasok. Namun katanya sekarang pemerintah ini akan lebih mengupayakan langkah-langkah sistem wajib pasok.

"Sekarang kita lagi mantapkan betul dengan para asosiasi terkait rotan, untuk sistem wajib pasok," ucapnya. Selama ini ditenggarai banyak produsen rotan yang sudah memasok justru diekspor kembali, sehingga akhirnya semua rotan dalam negeri diekspor semua ke luar negeri dengan cara legal maupun ilegal.