Rabu, 23 Februari 2011

MEMBEDAH KONDISI INDUSTRI ROTAN INDONESIA

http://rotanindonesia.org/index.php?option=com_content&view=article&id=244:membedah-kondisi-industri-rotan-indonesia&catid=25:rotan&Itemid=53


Tulisan - Rotan

Oleh

Lisman Sumardjani

Ketua Yayasan Rotan Indonesia



Rotan sudah sejak lama dikenal sebagai komoditi hasil hutan non-kayu yang penting dan sangat potensial di Indonesia. Diperkirakan terdapat 4 – 5 juta orang terlibat di industri dasar rotan. Dari total 600 species rotan di dunia, 516-nya ditemukan di Asia Tenggara yang masuk ke dalam 9 genes (ITTO PD 108/01 Rev. 3(I), 2007), tetapi dari 350 species yang diketahui ada di Indonesia baru 53 species yang diketahui diperjual belikan di pasar lokal maupun internasional. Potensi Indonesia menghasilkan rotan menurut data dari Dephut, jumlah AAC rotan adalah 696.900 ton.



Namun saat ini dunia usaha rotan Indonesia menghadapi kondisi yang serius:

1. Volume dan nilai ekspor produk rotan menurun terus. Pengusaha mebel dan kerajinan rotan menuduh sebab semuanya itu adalah akibat dari kekurangan bahan baku.
2. Produksi rotan mentah menurun terus, karena petani pemungut rotan kecewa penghasilan dari usaha ini tidak bisa lagi mencukupi penghidupan mereka. Pengusaha rotan menuduh telah terjadi oversupply sehingga harga jatuh dan petani pemungut kapok berusaha rotan lagi.
3. Ini yang belum tidak disadari oleh para pemain rotan: munculnya produk substitusi rotan imitasi plastik yang mulai mengambil porsi rotan alam.

Bila dirunut ke belakang, kondisi yang memprihatinkan ini adalah akibat dari kebijakan pemerintah yang tidak strategis. Kebijakan yang diambil hanyalah menutup dan membuka kran ekspor rotan asalan atau rotan setengah jadi tanpa memasukkan pertimbangan dan analisa yang komprehensif. Seakan-akan dengan mengatur supply bahan baku, seluruh industri rotan bisa dikontrol sesuai yang kita kehendaki. Padahal komponen bahan baku hanyalah salah satu dari 5 (lima) kondisi lingkungan industri menurut Michael Porter (1979).

Konsep "Porter 's Five forces" bisa digunakan untuk analisa industri dan perkembangan strategi perusahaan untuk melihat kemenarikan pasar. Kemenarikan di konteks ini merujuk pada profitability keseluruhan industri. Industri yang tak "menarik" adalah bila kombinasi kekuatan bergerak menurunkan keseluruhan profitability. Sedangkan bila kondisi pasar industri bergerak menuju "kompetisi murni” maka industri dianggap benar-benar tdk menarik.

Pemikiran ini awalnya datang dari Bob Hasan di tahun1979 saat itu dan memang sangat masuk akal. Kita punya banyak bahan baku rotan tapi semuanya diekspor untuk industri mebel di luar negeri. Mengapa tidak kita olah saja di sini, sehingga kita bisa mendapatkan manfaat dari hulu sampai hilir. Added value dari pengolahan rotan mentah menjadi mebel bisa menjadi milik bangsa ini dan tidak diambil oleh orang lain. Atas dasar pemikiran seperti itu, maka ditutuplah ekspor rotan bulat asalan dan setengah jadi.

Ancaman Pendatang Baru:

Dalam bahasa Porter, industri mebel rotan di HK, Vietnam, Taiwan, Cina dianggap sebagai Ancaman Pendatang Baru, karena mereka tumbuh kemudian setelah industri bahan baku rotan kita tumbuh. Atau sesungguhnya yang lebih tepat, karena Bob Hasan ingin kita mendominasi industri mebel rotan dunia, maka sesungguhnya kitalah yang menjadi pendatang baru bagi industri mebel.

Dengan menyetop supply bahan baku, maka industri mebel di luar Indonesia akan kehilangan skala ekonominya. Jumlah yang diproduksi menjadi sedikit atau sangat terbatas karena terbatasnya sumber rotan dari selain Indonesia. Bahkan bila mereka menggunakan bahan baku rotan hasil selundupan dari Indonesia maka biayanya pasti mahal, apalagi harus bersaing dengan produk mebel yang dibuat di Indonesia. Asumsi Bob Hasan, masalah modal, biaya investasi bisa ditanggulangi. Sedangkan differensiasi produk dan distribusi juga tidak dianggap sebagai masalah karena asumsinya setiap produk yang dihasilkan pasti akan diserap pasar.

Pemerintah:

Jelas dalam tindakan menyetop ekspor ini, peran pemerintah menjadi sangat nyata, karena memang tindakan menghentikan ekspor rotan didukung oleh atau bahkan merupakan keinginan dari pemerintah.

Pemasok:

Indonesia sebagai gudangnya tanaman rotan dunia, tentu saja sangat unggul dalam kekuatan Pemasok. Menurut (Anonymous, 2004) luas kawasan hutan yang merupakan habitat ideal dari 350 species rotan mencapai luasan 26,7 juta ha, yang setara dengan potensi produksi tahunan 696.900 ton.

Komponen five forces inilah yang merupakan advantage Indonesia. Rotan tidak akan ditemukan di tempat lain, kecuali sangat sedikit. Maka yang dilakukan pemerintah adalah memainkan kekuatan ini untuk menguasai industri mebel dan kerajinan rotan dunia.

Di tahun 1979 Mendagkop melarang ekspor rotan bulat asalan. Tahun 1986 Menperdag juga menerbitkan SK larangan ekspor rotan bulat dan setengah jadi. Baru di tahun 1998 Menperindag mengijinkan ekspor rotan selama 6 tahun. Kemudian di tahun 2004 Menperindag kembali melarang ekspor rotan bulat dari hutan alam. Di tahun 2005 Menperdag mengijinkan (sebagian) ekspor rotan dalam jumlah dan dengan ketentuan tertentu sebagai bentuk akomodasi dan kompromi dua pihak yang setuju dan yang menolak ekspor rotan.

Akibat kebijakan melarang ekspor rotan bulat asalan dan setengah jadi ini, memang industri mebel tumbuh dengan pesat dari 10 menjadi 300 unit usaha industri mebel di Jawa, tetapi harga rotan turun dari USD 1,29/kg menjadi USD 0,53/kg akibat over supply. Menurut kapasitas industri mebel dan kerajinan rotan Indonesia setahunnya adalah 100.000 ton, sehingga tentu saja terjadi kelebihan over supply sekitar 600.000 ton setahunnya.

Pembeli:

Dalam rangkaian bisnis rotan mentah, pengusaha mebel dan kerajinan merupakan pembeli. Dengan menutup ekspor maka yang diuntungkan adalah industri mebel dalam negeri dengan turunnya harga, sedangkan petani pengumpul dan eksportir rotan menjerit karena produknya tidak bisa dijual. Seharusnya bila ingin berlaku adil, karena baik industriawan mebel maupun pengusaha rotan bulat asalan dan setengah jadi, adalah juga masyarakat Indonesia yang harus dilindungi, maka pemerintah harus mewajibkan industri mebel dan kerajinan rotan untuk membeli semua (kelebihan) produksi rotan yang dilarang diekspor.

Dari sisi pengusaha mebel dan kerajinan, yang dimaksud dengan Pembeli adalah end user sebagai pengguna produk-produk akhir rotan yang berada di seluruh dunia. Pembeli ini tetap ada dan tidak berkurang walaupun terjadi penghentian ekspor bahan baku rotan. Sayangnya konsumen produk rotan dunia ini tidak beralih mengkonsumsi produk rotan yang dihasilkan oleh industri mebel Indonesia seperti yang dikehendaki oleh pemerintah. Maklum bila bicara inovasi dan kreativitas produk mebel maka orang akan ingat produk Itali, Jerman atau Skandinavia. Bila bicara produktivitas dan biaya murah maka orang akan ingat produk HK, Cina atau bahkan Vietnam. Distribusi pasar juga tetap dikuasai oleh mereka. Mereka tetap menjadi pelanggan setia dari produk mebel yang dihasilkan oleh pesaing Indonesia.

Produk Substitusi:

Karena demand pasar dunia akan produk atau barang-barang dari rotan tetap tinggi dan tidak mampu dipenuhi oleh produk Indonesia, sedangkan supply bahan baku rotan dari Indonesia telah dihentikan, maka para pesaing Indonesia, mencari sumber bahan baku yang lainnya. Dan inilah yang menyebabkan lahirnya produk substitusi, yaitu rotan imitasi plastik.

Pada awalnya produk rotan imitasi plastik ini dihasilkan oleh perusahaan Jerman dengan kualitas warna, tekstur, kelenturan yang prima dan dijamin bertahan terhadap iklim dan cuaca dalam lima tahun. Tentu saja harganya mahal. Namun kemudian seiring dengan meningkatnya demand rotan imitasi plastik , hargapun menurun, terutama setelah Cina mampu membuat rotan imitasi walau kualitasnya kurang dan hanya bertahan untuk satu tahun.

Keberadaan dan ancaman produk substitusi ini sering tidak terlalu diperhatikan oleh pemerintah dan industriawan mebel rotan. Padahal dengan keunggulan sifat-sifat rotan imitasi plastik, terutama kemampuannya menahan perubahan iklim dan cuaca, telah menciptakan penggemar tersendiri yang menggerus demand akan mebel rotan asli, apalagi bila si konsumen tidak terlalu memperhatikan sisi lingkungannya.

Keberadaan produk substitusi rotan imitasi ini seharusnya dibendung seperti yang dilakukan oleh OPEC dalam menahan lahirnya produk substitusi BBM. OPEC selalu berupaya agar BBM dunia selalu tersedia dan tidak terlalu mahal, sehingga produk substitusinya tidak ekonomis dan tidak akan menggerogoti porsi BBM yang merupakan produk OPEC. Bagi OPEC tidak ada gunanya mereka menguasai cadangan terbesar minyak dunia, tetapi pasar BBMnya justru habis diambil oleh produk substitusi.

Yang terjadi dengan produk rotan adalah sebaliknya. Supply bahan baku rotan justru distop ditengah tingginya demand dunia akan produk rotan. Jadi kebijakan menutup ekspor rotan mentah dan setengah jadi yang semula dimaksud untuk mengambil sebagian besar pangsa pasar mebel rotan dunia justru melahirkan produk rotan imitasi plastik sebagai produk substitusi yang mengancam keberadaan rotan alam.

Persaingan internal:

Akibat dari kondisi melemahnya perekonomian dunia dan ditekan oleh semakin meluasnya pemakaian rotan imitasi, demand kepada produk rotan Indonesia saat ini sangat menurun. Para buyer dari luar negeri dalam membawa order berupaya menekan harga seminimal mungkin. Perusahaan menengah dan besar tidak mampu melaksanakan order ini karena tingginya beban overhead yang mereka tanggung. Ujung-ujungnya order itu diambil oleh perusahaan kecil karena walaupun mereka tidak punya untung tetapi lumayan cukup untuk membayar biaya karyawan. Bahkan seringkali order itu dikerjakan sendiri oleh perantara dengan membeli bahan baku dan membayar pengrajin sendiri. Jadi permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan mebel rotan bukanlah tiadanya bahan baku tetapi seretnya cashflow akibat tidak adanya pesanan.

Kalau saja dari awal pemerintah melakukan analisa Lima Kekuatan Porter, maka kondisi pengusahaan rotan kita tidak akan terpuruk seperti ini. Kebijakan menutup ekspor rotan seharusnya dipertimbangkan dengan sangat hati-hati agar produk substitusi tidak tumbuh dan menggerogoti rotan asli kita. Saat ini akan sulit bagi kita untuk membendung rotan imitasi plastik, karena sudah terbentuk sistem mekanisme dan jaringan pemasaran rotan imitasi plastik.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengembalikan kejayaan rotan Indonesia, walaupun ini tidak akan mudah dan murah:

1. Agar petani pemungut rotan tetap memelihara dan menghasilkan rotan, maka pasar rotan bulat asalan harus terbuka lebar. Seluruh produksi harus mampu diserap pasar. Karena pasar lokal tidak mampu menyerap semua produksi, maka setelah kebutuhan industri mebel rotan dipenuhi, seluruh sisanya dijual ke pasar dunia. Petani pemungut akan bergairah berusaha rotan, karena rotan memberikan penghidupan yang layak bagi mereka dan keluarganya.
2. Industri mebel lokal dengan dibukanya pasar rotan mentah akan mendapatkan saingan dari industri mebel rotan di Cina, Vietnam dan lainnya. Tetapi dengan harga bahan baku yang lebih murah, apalagi ditambah dengan perbaikan disain dan model produk yang selalu up-to-date dan efisiensi biaya produksi, maka kita bisa membanjiri dunia dengan produk rotan yang disukai konsumen dalam rentang harga yang masuk akal. Akibatnya demand kepada rotan imitasi akan berkurang, apalagi ditambah kampanye lingkungan yang menyatakan bahwa produk rotan asli dari Indonesia merupakan produk yang ramah lingkungan dan merupakan bagian dari gaya hidup modern. Dengan demikian kita memiliki industri mebel yang sehat dan kompetitif.
3. Perlunya suatu kampanye nasional yang menggalakkan pemakaian produk dari rotan. Selain batik, maka rotan merupakan sesuatu yang sangat Indonesia. Untuk itu semua lapisan perlu menggunakan produk rotan dalam kehidupan sehari-harinya. Kantor pemerintah dan swasta, hotel, restoran dan perumahan menggunakan perabotan mebel dari rotan. Ibu-ibu belanja membawa keranjang rotan dibanding menggunakan plastik. Supermarket Giant, Carefour, Hypermart tidak lagi menggunakan keranjang plastik tetapi semuanya menggunakan keranjang rotan. Saat piknik, maka keranjang yang dibawa adalah keranjang rotan. Rotan perlu menjadi bagian dari setiap kegiatan kita. Kita harus bangga menggunakan rotan seperti kita bangga dengan batik.***

Referensi:

ITTO -Ministry of Forestry PO 108/ 01 REV. 3 ( I ). 2007. Rattan in Indonesia. Development of Sustainable Rattan Production and Utilization through Participation of Rattan Smallholders and Industry in Indonesia. Jakarta.

ITTO -Ministry of Forestry PO 108/ 01 REV. 3 ( I ). 2007. Technical Report: Rattan Raw Material Trade. Development of Sustainable Rattan Production and Utilization through Participation of Rattan Smallholders and Industry in Indonesia. Jakarta.

Porter, M.E. (1980) Competitive Strategy, Free Press, New York, 1980.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar